“INYIAK BALIAU” BUYA LUBUAK LANDUA
“INYIAK BALIAU” BUYA LUBUAK LANDUA
Cerita Rakyat dari Jorong
Lubuak Landua Aur Kuning Kabupaten Pasaman
Barat
Diceritak kembali oleh :
Muhammad Ratmil
Konon kabarnya sekitar awal abat 17 Masehi, ada
satu keluarga kecil dari Bonjol. Bapak tersebut bernana Peto Sulaiaman,
orangnya berperawakan tinggi, gagak dan sedikit berjambang sekilas seperti bule Turki. Peto Sulaiman ini
memiliki hubungan
kekerabatan dengan Peto Syarif atau terkenal dengan Imam Bonjol.
Peto Sulaiman melakukan perjalanan dari Bonjol bersama istrinya dan seorang anak bujangnya
bernama Salim Peto Bandaro pergi merantau hendak membuka “ladang” pertanian ke Aur Kuning,
Pasaman Barat. Dia mendapatkan informasi, bahwa di tempat ini masih banyak
lahan kosong dan masyarakatnya terkenal ramah dan sangat menghormati tamu yang
datang. Disamping itu dia punyai misi untuk mengembangkan ilmu tasawuf dan
silat bathin, di aur kuning.
Mereka berjalan cukup jauh,
menelusuri lereng gunung pasaman. Tiba-tiba Peto Sulaiman setengah berbisik
tapi cukup tegas memerintahkan:
“Berhenti, jangan bergerak..
!!!”
Perintah Peto Sulaiman sambil
menujuk ke hutan lebat di depan. Istri dan anaknya terkejut tapi mereka patuh.
Dia tidak melihat hal-hal yang aneh atau membahayakan. Peto Sulaiman mengambil
ranting kemudian membacakan doa dan melemparkan ranting itu, tepat mengenai ular
sebesar paha orang dewasa persis di depan tak jauh dari mereka. Ular itu kaku, tidak
bisa bergerak. Peto Sulaiman memiliki ilmu yang cukup tinggi, salah satunya
ilmu menotok. Ular itu tidak akan bisa bergerak selama 30 menit lebih.
“Alhamdulillah, kita
diselamatka oleh Allah” Kata
istrinya, sedikit menggigil ketakutan.
“wah… ayah hebat, apa doanya
tadi tu yah?”. Tanya Salim Peto
Bandaro pada ayahnya.
“Doanya, Bismillahi Allahu
Akbar” jawab ayahnya, “disamping doa, yang penting makrifat ketika melemparkan
ranting tadi” lanjutnya. “Insya Allah nanti bila kita sudah menemukan tempat
yang tepat untuk mencai nafkah, Ayah akan ajarkan semua ilmu yang ada pada ayah
padamu, nak”
“Aamiin yaa Allah, Insya
Allah, terima kasih ayah” Jawab Salim Peto bandaro dengan sangat harap.
Mereka terus melanjutkan perjalanannya
mendaki bukit dan menuruni lembah, dan berjalan dengan santainya seakan-akan
tanpa beban. Matahari sudah tergelincir ke arah barat, bayangan pepohonan tidak
lagi tegak lurus, bayangan sudah “condong” sedikit ke arah timur, menandakan
waktu zuhur sudah masuk.
Peto Sulaiman berhenti dan
mencari tempat beristirahat. Mereka beristirahat di bawah pohon besar, daunnya rindang pas sekali untuk
beristirahat. Tak jauh dari pohon itu ada anak sungai kecil, mereka mengambil
airnya untuk diminum, sambil melepaskan dahaga. Setelah itu mereka mengambil
air udhuk untuk shalat. Mereka
shalat Zuhur berjemaah. Karena mereka tergolong musyafir, maka mereka shalat jamak taqdim dengan ashar dan sekaligus
meringkasnya (Qasar);
Sementara itu dari kejauhan
sepasang mata tajam dari sesorang
berumur paruh baya, sedang mengamati gerak gerik keluarga ini,
“Insya Allah, keluarga ini
adalah orang baik-baik dan alim”
Katanya dengan lembut
setengah berbisik sendiri. Bapak ini adalah Majo Indo yang kebetulan sedang
berada tak jauh dari Peto Sulaiman beristirahat. Bapak ini menghampiri, dan
memberikan salam.
“Assalamualaikum, dari mana
dan hendak kemana tuan-tuan..?” sapa Majo Indo dengan ramahnya.
“Waalikumussalam
warahamatullahi wabarkah” jawab Peto Sulaiman sambil menjabat tangan Majo Indo
dengan eratnya dan menatap matanya dengan teduh sambil tersenyum.
“Saya Peto Sulaiman Pak, ini istri saya dan ini Sulim Peto
Bandaro” sambil memperkenalkan diri dan keluarganya.
Mereka terlibat
percakapan yang sangat akrab. Akhirnya Majo Indo mengundang Peto Sulaiman se
keluarga datang kerumahnya. Mereka mendapat sambutan yang luar biasa dari
pemuka masyarakat dan meminta mereka untuk tinggal di daerah ini. Setelah Majo
Indo dapat khabar, bahwa Peto Sulaiman berhubungan kekerabatan dengan Imam
Bonjol, maka Majo Indo mengajak mereka jadi anak kemenakan warga Aur Kuning,
“Kami butuh orang-orang seperti pak, Peto”.
“Nagari ini butuh orang alim untuk mengembangkan ajaran agama pada
masyarakat sini” kata Majo Indo.
Bak “Gayung bersambut”, akhirnya mereka diberi lahan pertanian, dan
masyarakat bergoro membuatkan pondok sederhana untuk mereka tempati di daerah
Lariang, Jorong Lubuak Landua.
Mereka bekerja sebagai petani dan membuka perladangan. Peto Sulaiman dan keluarganya dihormati masyarakat karena keramahan dan kejujuranya, disamping memiliki ilmu tinggi dan seorang pendekar, banyak anak-anak yang belajar
silat, dan sering juga orang tua bertamu,
bertanya tentang masalah agama.

Salim Peto Bandaharo,
adalah anak muda yang terkenal taat menjalankan ibadah disamping jujur dan suka
menolong. Dia belajar ilmu agama dan ilmu silat pada ayahnya Peto Sulaiman,
salah satu pesan ayahnya Peto Sulaiman adalah menjaga kehalalan makanan dan
menjaga adab pergaulan.
Ayahnya berpesan “kalau kamu
mau keturunan mu jadi anak yang shaleh dari masa muda inilah mulai mendidiknya”
“Bagaimana caranya, ayah. Saya
saja belum punya istri apalagi anak, apa maksudnya ayah?” Jawab Salim Peto
Bandaro.
“Nilai karakter yang kamu
bangun sejak dari baligh inilah hakekatnya yang akan kamu turunkan pada anakmu
kelak”. Jawab Peto Sulaiman.
Salim Peto Bandaro,
mengangguk-angukan kepala sambil berpikir dan mencoba menterjemahkan dalam hati
apa yang dimasudkan oleh ayahnya itu.
Hari hari berganti masapun
berlalu, Salim Peto Bandari tumbuh jadi pemuda yang dewasa yang shaleh, dia
sudah berumur lebih kurang 22 tahun. Pemuda seusianya sudah banyak yang
berkeluarga, pada masa itu usia 20 an itu sudah sepantasnya berkeluarga. Dia
tegolong pemuda tampan dan baik laku, banyak sekali anak gadis yang memujanya
dan jatuh cinta padanya, tapi dia selalu menolaknya dengan santun dan bila
berjalan selalu menundukkan matanya, apalagi bila berpapasan dengan anak gadis.
Sudah tiba saatnya Peto Sulaiman
dan Istrinya inginkan anaknya ini memiliki istri, semoga kelak memperoleh
keturunan yang shaleh dan jadi ulama besar. setiap ditanyakan sambil berkelakar padanya dia selalu menjawab:
“pilihan ayah dan umak itulah yang terbaik dan insya Allah
berkah” jawabnya dengan sopan.
Akhirnya, setelah shalat
istigharah berulang kali, akhirnya Peto Sulaiman menjodohkannya dengan seorang anak
gadis, anak temannya dari Sikilang, Sasak bernama Pilaut Wajahnya cantik memancarkan
cahaya keibuan, dia sangat cantik alami tanpa di beri “make up”. Pilaut
terkenal gadis pemalu, dia lebih
banyak berkurung dirumahnya dari pada merumpi keluar.
Dalam
tahun 1799 M, mereka menikah, setelah menikah mereka bersepakat mengamalkan
beberapa amalan yang pernah diajarkan oleh Orang tuanya Peto Sulaiman yaitu, setiap habis subuh dan magrib membaca Al Qur’an. Mereka tetap dalam
keadaan sudi, tidak pernah lepas
dari uduk, bila lepas uduk, maka mereka beruduk kembali. Mereka sering
bersedekah pada orang miskin dan mintak di doakan agar mereka diberi keturunan
yang shaleh.
Setahun setelah Salim Peto Bandaro menikah dengan
Pilaut tepatnya dalam tahun 1800 M, mereka dikurnia seorang anak laki-laki yang
sehat dan sempurna, pada waktu kelahirannya tidak ada tanda-tanda luar biasa
menandakan dia kelak menjadi orang luar biasa, yang jelas dia lahir dalam
kedaan sehat wal afiat dan berwajah bersih dan bersinar.
Pilaut selama menyusukan
anaknya dia selalu dalam suci (beruduk), dan setelah membacakan basmalah dia
sering berdoa “Ya Allah, kurniakanlah kepada anak ku ini kesehatan zahir dan
batin, sucikanlah hati dan dan pikiran anakku ini sebagaimana engkau telah
menjaga kesucian ASI ini,
taburkanlah keberkahan baginya”
Suka cita mewarnai kedua keluarga besar Salim Peto Bandaro
dan Keluarga besar Pilaut dari Sikilang atas kelahiran anak, cucu dan kemenakan
ini. Bayi laki-laki ini diberi nama Muhammad Basyir. Muhammad Basyir tumbuh
dalam keluarga taat beribadah, anak kecil ini selalu meniru apa yang yang
dilihatnya dan kritis. Dari usia balita dia sudah memperlihatkan bahwa dia akan
jadi orang penting nantinya.
Muhammad Basyir belajar ilmu agama dan silat minang pada Ayahnya Salim Peto Bandaharo,
juga dengan kakeknya Peto Sulaiman. Selain itu,
beliau juga sering berdiskusi tasawuf dengan Tukang Letta,
pemuda terkenal keramat di kampung itu.
Muhammad basyir terkenal orang yang sangat kritis, cerdas dan hobbinya berkhalwat “mengurung” diri untuk
berzikir, mengamalkan ilmu zikir yang penah diajarkan ayahnya Salim Peto
Bandaro dan kakeknya Peto Sulaiman.
Setelah dirasa cukup ilmu
syariat yang diajarkan oleh orang tua dan kekeknya juga berberapa ulama
dikampung itu dan juga seorang pemuda 5 tahun lebih tua darinya orang
memanggilnya Tukang Letta, maka dia menyampaiakan keinginannya belajar
memperdalam ilmu agamanya ke Kumpulan.
Sekitar tahun 1835 M Muhammad
Basyir berangkat menuju Kumpulan. Di Kumpulan ini dia belajar ilmu tasawuf
Tariqat Naqsabandi kepada Maulana Syekh Ibrahim bin Fahati al-Khalidi Kumpulan
(1764-1914), karena ketaatan dan kesopanan adabnya,
maka Syekh Ibrahim mempercayainya sebagai khalifah,
dan diberi gelar Maulana. Lengkapnya Maulana Muhammad Basyir.
Setelah melihat kemajuan ilmu
yang dia dapat dari gurunya, maka pada suatu hari Sykeh ibrahim memanggil
Maulana Ibrahim untuk datang menghadapnya.
“Wahai muridku Maulana Muhammad Basyir,
amalkanlah ilmu yang telah kau
terim ini, dan sebarkanlah di
tanah kelahiranmu. Bila ada rezeki nanti
lanjutkanlah belarnya ke Mekkah Al Mukarramah” Ucap Syekh Ibrahim.
“Atas izin dari Allah, akan aku amalkan
ilmu yang aku dapatkan ini, tuan Syekh” jawab Muhammad Basyir
“Alhamdulillah, aku percaya kepadamu ”Ujar syekh Ibrahim.
Sepulang dari kumpulan dia kembali kekampung untuk membuka khalaqah suluk di
lariang, Lubuk Landua. Ketika itu, belum ada masjid, sehingga belajar hanya
di lakukan dirumah beliau. Semenjak pulang dari Kumpulan
ini, Muhammad Basyir bergelar Maulana. Masyarakat lebih senang memanggilnya
Inyiak Baliau. Inyiak Baliau adalah panggilan penghormatan untuk seorang ulama,
dan ada juga masyarakat yang memanggilnya Buya Lubuak Landua.

“
Murid-muridku, bagaimana caranya agar tempat ini ramai dikunjungi oleh
orang?”
“bagaimana kalalu kita pelihara ikan
di sini Buya?”
“aku setuju, kita mohon pada Allah agar ikan-ikan itu berkumpul
di sini”
Mereka mendoakan agar ikan-ikan berkumpul ditempat itu dengan
tujuan menjadikan tempat itu sebagai tempat rekreasi,
juga sekaligus sebagai penghilang lelah bagi murid-muridnya sehabis belajar mengaji di rumah. Sampai sekarang ikan itu menjadi ikan larangan di Lubuak Landua
Pada suatu hari beberapa orang keluarga Belanda
dari OPHIR pergi mandi-mandi ketepian mandi
di sungai batang buluan, karena girangnya mereka dengan air yang begitu jernih dan sejuk, melihat ikan-ikan yang banyak terbitlah selera mereka untuk menangkap
ikan-ikan itu dan merekapun menangkap ikan-ikan tersebut, membawa pulang untuk dimasak dan dimakan.
Tetapi alangkah malangnya nasib tentara Belanda yang telah memakan ikan tersebut, perut mereka gembung dan membesar. Setelah berobat kesana kemari,
tidak ada satupun
yang mampu mengobati, akhirnya Belanda itupun meninggal. Dan
menimbulkan kemarahan dari pihak tentara
Belanda.

“Kita bunuh semua ikan yang ada disungai yang beracun itu” ujar salah seorang
tentara Belanda.
Tentara Belanda marah. Mereka datang hendak menangkapi ikan larangan Lubuak Landua yang merek aanggap beracun. Ditepian mandi itu mereka akan menembaki ikan-ikan tersebut satu-persatu.
Akan
tetapi setiap kali mereka akan
menembaki ikan larangan tersebut, justru senapan yang mereka bidikkan itu tidak bisa
meletus, kejadian ini membuat malu dan mereka marah.
“Ini ikan-ikan pasti berada di bawah kendali ilmu sihir!”
“Saya sepakat, ini pasti ilmu sihir si Buya itu”
“Kita tangkap saja dia”
“Kita balas kan apa
yang terjadi pada keluarga kita”
Para Belanda itu berunding, setelah putus asa akan usaha mereka menembaki ikan-ikan larangan di tepian mandi Lubuak Landua. Berikutnya mereka akan merubah target serangan. Mereka akan menangkap Inyiak
Baliau.
Diperjalanan menuju rumah Inyiak
Baliau tentara Belanda melihat
air tergenang di halaman.
“Bagaimana mungkin ada
air di sekitar sini?”
“padahal tadi sama sekali tidak ada”
“ kita berenang saja”
Namun itu adalah salah satu keramahnya “Inyiak
Baliau” Maulana Muhammad
Basyir, hanya tentara Belanda itu saja yang melihat air tersebut. Mereke berenang
di tanah dan kerikil akibatnya penuh lukalah sekujur dada tentara Belanda tersebut.
Kabarnya malam hari sebelum tentara Belanda datang, “Inyiak Baliau” sudah dapat firasat kalau dia akan ditangkap. Beliau mendiskusikan dengan murid-muridnya.
“saya mendapat firasat kalau tentara Belanda akan datang kesini dan akan menangkap saya” ujar Inyiak
Baliau.
“sebaiknya, untuk sementara
waktu Buya pergi dari kampung ini”
jawab salah seorang murid.
“saya juga berfikir
seperti, untuk sementara waktu itu adalah jalan yang terbaik” tambah Inyiak
Baliau
Maka atas saran murid-muridnya dan restu dari keluarganya,
“Inyiak Baliau” Maulana
Muhammad Basyir atau Buya Landua
Landua tengah
malam itu juga pergi
menuju sikilang. Dia pergi sendirian, tidak mau ditemani. Karena dia memiliki
ilmu meringankan tubuh, dia berlari munuju sikilang hanya ditempuh satu jam. Perjalanan
ke sikilang itu lebih kurang 30 km. Sesampai di sikilang di sambut oleh
keluarga ibunya, tapi karena untuk keselamatan bersama setelah shalat subuh dia
berlayar dengan “Cadik” perahu penangkap ikan menuju aceh.
Sesampai di Aceh, beliau memperdalam ilmu keagamaanya, di aceh ini ini dia
memperoleh ijazah Tariqat Naksabandi, masih satu silsilah dengan gurunya Syekh
Ibrahim di Kumpulan.
Setelah
cukup lama memperdalam ilmu di sini, Inyiak Baliau Maulana Muhammad Basyir melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Mekkah al-Mukarramah hendak melaksanakan Haji, disamping melaksanakan ibadah haji, beliau juga meluangkan waktu untuk menuntut ilmu kepada ulama-ulama terkenal disana, khususnya dalam bidang Tarikat Naqsyabandiyah.
Beliau kemudian memperoleh ijazah Naqsyabandiyah dari Syekh ‘Ali Ridha di Jabal Abi Qubais Mekkah. Maulana Muhammad Basyir tinggal agak beberapa waktu
lama di Mekkah, mengambil barokah pada beberapa halaqah
yang bertebaran di Mesjidil Haram dan memperoleh selembar ijazah keluaran Jabal Abi Qubais, semenjak itu di beri gelar Syekh.
Di
kampung halaman beliau, setelah kembali dari perjalan lamanya. Syekh Maulana Muhammad Bashir
memperkuat pengaruh keulamaanya di Lubuak Landua. Dengan mengamalkan ilmu-ilmu yang telah beliau peroleh selama menuntut ilmu tasawuf terutama Tariqat
Naqsabandi. Ratusan orang belajar agama dan tasawauf
berdatangan dari berbagi penjuru di Pasaman malah ada yang dari Malaysia.
Melihat
perkembangan komunitas jumlah murid yang belajar, maka sekitar tahun 1872
masyarakat dan murit-muritnya mermufakat membangun mesjid. Inyiak Baliau Buya Lubuak Landua bersama masyarakat membangun Mesjid disebuah kawasan yang asri. Tepat di pinggir tapian mandi Ikan Larangan Batang Buluan. Syekh Maulana Muhammad
Bashir mengajarkan keilmuan keislaman di surau Lubuk Landua sampai beliau wafat ditahun 1922 dalam usia yang sepuh 122 tahun.
Syekh Basyir adalah orang yang masyur
dan terbilang keramat. Ada cerita tentang keshalehan beliau yang bermartabat di sisi Allah, dalam ilmu
Tauhid diistilahkan dengan Khariqul
lil Adah, memang diakui, dilihat oleh mata, disaksikan oleh masyarakat
banyak, menjadi buah bibir sampai ke generasi-generasi selanjutnya.
Keramah beliau antara lain, kebal dari senjata tajam,
seandainya ada senjata tajam
yang melekat di tubuh beliau,
tidak akan melukainya atau menghasilkan satu goresanpun. Beliau juga memliki kemampuan
untuk bisa menghilang, maka banyak para pejuang dan tentara yang minta do’a
sebelum pergi berperang dan banyak juga masyarakat yang mau merantau minta do’a
kesuksesan dan keselamatan terlebih dahulu.
Suatu hari, Syekh Maulana Muhammad Basyir sedang shalat sunat di surau. Beliau menghilang waktu. Beberapa hari berselang muncul kabar kalau beliau pergi ke Mekkah. Masjidil haram kebakaran dan beliau ikut memadamkan. Hal ini dibenarkan oleh orang kampung sepulang
haji bertemu dengan Inyiak Buya Lubuk Landua.
Demikianlah cerita rakyat dari jorong Lubuak Landua, Aua Kuniang, Pasaman
Barat tentang Inyiak Baliau Syekh Maulana Muhammad Basyir ini disusun dari
berbagi nara sumber seperti Buya Syekh Mustafa Kamal, Bapak Mawi, Inyiak Amban
dan lain-lain. Bila terdapat perbedaan mohon maaf dan perlu kita telusuri
sejarahnya.
Cerita tentang Inyiak Baliau Syekh Maulana Muhammad Basyir ini memiliki nilai sejarah dan nilai
karakter yang perlu diwariskan ke generasi berikutnya antara lain (1). bahwa
untuk memperoleh anak yang shaleh maka setiap calon Bapak dan Ibu semenjak usia
masih bujang atau gadis harus
mempersiapkan diri menjadi calon Bapak atau Ibu yang memiliki akhlaq mulia, mejaga adab sopan santun dan ke
halalan makanan, karena hakekatnya nanti akan diturunkan kepada keturunannya.
(2). Seorang ibu harus mengamalkan kesucian lahir dan bathin seperti
mengamalkan wudhuk setiap mau menyusukan bayinya disamping mencontohkan akhlaq
yang terpuji. (3). Kebersihan pikiran dan hati merupakan amalan yang yang utama
untuk meningkatkan derjad disamping mengamalkan ilmu yang didapat dengan
sungguh-sungguh (istiqamah). (4). Dan lain-lain
Komentar
Posting Komentar